Korupsi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk keuntungan pribadi.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi: Korupsi adalah setiap orang yang dengan melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Asian Development Bank (ADB): Korupsi
adalah kegiatan yang melibatkan perilaku tidak pantas dan melawan hukum
dari pegawai sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri dan
orang-orang terdekat mereka.
SOCRATES
- Kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan: Mengetahui sesuatu dan benar-benar melakukannya adalah dua hal yang berbeda. Faktor-faktor seperti tekanan sosial, self-interest, dan moral disengagement dapat membuat seseorang bertindak bertentangan dengan pengetahuannya.
- Lemahnya penegakan hukum: Kurangnya kepastian hukum dan konsekuensi yang tidak tegas bagi pelaku korupsi dapat mendorong orang lain untuk melakukan tindakan serupa.
- Budaya permisif: Sikap "cuek", "tidak apa-apa asalkan tidak ketahuan" , dan "semua orang melakukannya" dapat menormalisasi perilaku korupsi dan membuat orang enggan untuk melaporkannya.
- Sistem yang tidak transparan dan akuntabel: Kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan publik dapat membuka peluang bagi terjadinya korupsi.
- Pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konsekuensi negatif dari korupsi dan pentingnya integritas.
- Keadilan: Menciptakan sistem yang adil dan merata bagi semua orang, sehingga tidak ada yang merasa perlu untuk melakukan korupsi.
- Ketidaktahuan: Pejabat Kemensos tidak memahami konsekuensi negatif dari korupsi bansos COVID-19 terhadap rakyat yang membutuhkan.
- Ketidakadilan: Distribusi bansos yang tidak merata dan tidak adil menyebabkan banyak rakyat yang membutuhkan tidak mendapatkan bantuan.
- Kurangnya akuntabilitas: Kurangnya transparansi dalam proses pengadaan bansos COVID-19 membuka peluang bagi terjadinya korupsi.
PLATO
Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, secara spesifik dari Athena. Dilihat dari perspektif sejarah filsafat, Plato digolongkan sebagai filsuf Yunani Kuno. Ia adalah penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat.
Pandangan Plato mengenai perilaku manusia terhadap kasus korupsi. Sebelumnya, teori perilaku manusia menurut Plato adalah “3 bagian jiwa manusia”, yaitu
- Rasional (Logistik)
Bagian ini membahas tentang akal dan logika. Dari sudut pandang rasional, korupsi merupakan suatu kegiatan yang tidak logis dan tidak rasional. Korupsi berdampak buruk bagi banyak pihak, termasuk sendiri, karena dapat merusak reputasi diri dan berujung pada hukuman penjara. Korupsi juga menghambat kemajuan bangsa dan negara. - Spirited (Thymoeides)
Bagian ini tentang keberanian, semangat dan ambisi. Dari sudut pandang spiritual, korupsi adalah tindakan pengecut dan berani. Orang yang korup memanfaatkan orang lain dengan cara yang tidak adil. Korupsi juga merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. - Appetitive (Epithumetikon)
Bagian ini membahas tentang keinginan, nafsu dan kesenangan. Dari segi nafsu, orang yang korup ingin mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain.
Contoh kasus korupsi di indonesia menurut 3 bagian jiwa manusia Plato
Kasus: Korupsi pengadaan e-KTP
Pandangan Rasional (Logistikon):
- Tindakan korupsi yang tidak logis dan tidak masuk akal.
- Merugikan negara triliunan rupiah.
- Menghambat proses pelayanan publik.
Pandangan Spirited (Thymoeides):
- Tindakan korupsi yang pengecut dan tidak berani.
- Koruptor mengambil keuntungan dari rakyat dengan cara yang tidak adil.
- Merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Pandangan Appetitive (Epithumetikon):
- Tindakan korupsi yang didorong oleh keserakahan dan nafsu.
- Koruptor ingin mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
- Merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk memuaskan nafsu pribadi.
ARISTOTELES
Aristoteles, adalah seorang filsuf Yunani yang menjadi guru dari Alexander Agung. Ia menjadi murid dari Plato ketika berada di Athena. Aristoteles belajar dari Plato selama 20 tahun, mulai pada umur 17 tahun. Menurut Aristoteles, korupsi merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang terjadi ketika pejabat menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi. Korupsi dapat dibagi menjadi dua jenis
- Korupsi distributif : terjadi ketika pejabat mendistribusikan sumber daya publik secara tidak adil, misalnya dengan memberikan keuntungan kepada keluarga atau teman dekatnya.
- Korupsi korektif : terjadi ketika pejabat menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi, misalnya. menerima suap atau menggelapkan uang .
Contoh kasus korupsi di Indonesia:
- Kasus korupsi bantuan sosial Covid-19: distribusi bantuan sosial yang tidak merata dan tidak adil serta penyalahgunaan dana bantuan sosial untuk kepentingan pribadi. (Contoh korupsi distributif)
- Kasus korupsi E-KTP: pengadaan e-KTP yang tidak transparan dan dugaan manipulasi dan penyalahgunaan dana pengadaan e-KTP untuk kepentingan pribadi. (Contoh korupsi Korektif)
Analisis berdasarkan pendapat Aristoteles:
Kedua contoh kasus di atas menunjukkan adanya ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles tentang korupsi.
Tentunya ketiga filosof diatas saling berkaitan dalam berpendapat mengenai kasus korupsi di Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda. Socrates dengan pendapat “Ilmu adalah kebajikan”, Plato dengan “3 bagian jiwa manusia”, dan Aristoteles dengan pandangan “Distributif dan Korektif”.